Monday, October 31, 2011

Buah lokal vs buah impor

Dear JS-er,

Mohon maaf sudah lama tidak menulis, saya mendapatkan banyak manfaat dari milis ini untuk referensi tempat makan dan komunitas yang baik :). Jadi kali ini saatnya membalas jasa dengan menulis :p.

Kalau berbicara soal buah lokal, memang kadang-kadang hati sedih melihat buah lokal kalah dengan buah impor. Tetapi saya memiliki pandangan yang sedikit berbeda jika diminta mendukung buah lokal. Apalagi memanfaatkan rasa kebangsaan. Tetapi hal ini merupakan preferensi pribadi dan silahkan JS-er yang lain untuk memiliki pandangan dan keputusan sendiri.
Kalau disuruh mendukung beli buah lokal Buto Ijo alias membabi buta, jujur saya sebagai orang yang berkecimpung di dunia bisnis jadi sulit menerima hal ini. Lha, apel yang tampangnya cakep-cakep, ada yang merah tua (Washington), Pacific rose (asal bukan Vietnam Rose saja .... sambil melirik Harnaz ... eeh salah lirik, harusnya YH), Apel Fuji (walaupun gua ngga yakin kalau nih apel bener dari Gunung Fuji ... paling ditanem di sebelah Fuji Film kali :p), Apel Fujiyama .... ooops, (kalau ini sih saingannya Rexona yak) rasanya cukup enak (walaupun saya pernah baca klaim bahwa apel impor ini kandungan gizinya sudah sangat berkurang karena dikirimkan beberapa minggu / bulan yang lalu dari negara asalnya, kalau ada JS-er yang tahu mengenai hal ini mohon di sharekan) dibandingkan apel lokal yang jujur saja (menurut pendapat saya yah .... jangan marah kalau ada yang punya apel yang saya sebutkan atau menyentil rasa kebangsaan anda) sudah bentuknya kecil, buntet, terkadang terlalu keras, rasanya terkadang asem ..... kebonnya deket sama rumah gua (lha, Malang kan lebih deket ke rumah gua daripada Washington yak). Tapi harganya LEBIH MAHAL. Saya disuruh dukung Apel Malang, saya sulit menerima hal ini. Sebagai konsumen, sesuai kata om Adam Smith (bukan Adam dan Hawa) konsumen akan mencari produk yang memberikan manfaat terbesar dengan pengorbanan terkecil. Kalau sekali-sekali dukung sih boleh-boleh saja, wong saya kan orang Indonesia dan memang harusnya dukung produk lokal, TETAPI kalau disuruh dukung produk lokal yang tidak bersaing atau tidak menyesuaikan diri dengan persaingan dalam dunia bisnis .... yah sama ajah ini namanya amal (bukan Amalia ... itu mah gadis cilik lincah nian ...... sosotan gua waktu SD :p). Cepat atau lambat pasti akan kalah tergerus oleh persaingan. Karena itu pebisnis buah lokal juga dituntut untuk sadar akan persaingan dan jangan mengeluh saja, tetapi harus melihat ancaman-ancaman apa saja yang ada dan analisa SWOT lalu lakukan langkah menghadapi buah impor. Kalau bisnis mau tumbuh dan survive memang harus bisa mengidentifikasi ancaman dan kreatif mencari solusinya.
Saya punya banyak buah favorit lokal yang menjadi preferensi saya dibandingkan dengan buah impor. Tetapi terkadang terjadi noise-noise (seperti kata om Steve Jobs) dan terkadang kalah sama buah impor :

1. Jeruk Pontianak. <<>> Tiap pagi saya minum jeruk peras satu gelas. Dulu waktu saya masih belum “tertipu” (maksudnya belum married ... wkwkwkwkwk) saya tidak cocok dengan jeruk peras yang murni. Saya malah bilang kalau Nutrisari yang dicampur dengan es dicampur dengan sedikit perasan jeruk itu lebih enak daripada jeruk peras murni. Tetapi setelah married dan saya mau tidak mau harus mengikuti peraturan CEO di rumah dimana Nutrisari, sirup, Coca Cola, Pepsi Cola (supaya jangan dibilang kontra marketing jadi dua merek bersaing tetap disebutkan :p) itu “seakan-akan” termasuk ke dalam golongan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Additif :p) jadi kalau sama 2 bos kecil saya lagi mau “fly” minum root beer atau Coca Cola terpaksa kita harus sembunyi-sembunyi jangan sampai ketahuan pihak berwajib. Kalau sampai ketahuan, urusan bisa panjang .... bisa-bisa nanti kita disuruh detoksifikasi ... ha ha ha ha. Maka mau tidak mau tiap pagi yang saya minum adalah jeruk peras tanpa dicampur apapun. Nah, rupanya seperti kata pepatah “alah bisa karena biasa” setelah berjalan 1 tahun, lidah saya malah sekarang sudah sangat terbiasa dengna jeruk peras murni dan tiap kali minum es jeruk di kedai / restoran manapun ..... lidah saya akan sibuk mencari jejak-jejak gula dan secara tidak sadar (bukan trance .... ngga sampai kaya orang main kuda lumping) membandingkan dengan rasa jeruk peras murni yang saya minum tiap pagi. Dan sekarang saya sangat menghargai jeruk peras murni, mending gua minum es teh tawar daripada es jeruk yang rata-rata dicampur air gula segambreng<<>>. Nah, kalau menilik persaingan di dunia perjerukan, logikanya kan jeruk Pontianak lebih dekat ke Jakarta dibandingkan jeruk Navel atau Valencia. Tetapi dalam banyak kunjungan saya ke toko buah sering sekali harga jeruk Pontianak itu lebih mahal dari jeruk Navel dan Valencia ini. (apalagi jeruk Medan ... memang kalau Medan suka jual mahal yaa .. peace Natalia ha ha ha). Saya tidak tahu detailnya apa yang terjadi, tetapi seharusnya pemerintah menyadari hal ini lalu membereskan tata niaga jeruk dan memberikan dukungan bagi perkembangan jeruk Pontianak. Asalkan harganya sama atau lebih mahal “sedikit” saja dengan jeruk impor, preferensi saya masih jeruk Pontianak.
2. Mangga. Kalau mangga yang saat ini lagi musim sekarang, masih jelas mangga Harum Manis belum terkalahkan. Baik masalah rasa, kualitas dan harga dibandingkan dengan mangga impor saya masih prefer Harum Manis kemana-mana. Kemarin di Glodok habis makan di gang samping Gloria saya lihat pedagang jual mangga Harum Manis, harganya Rp. 12.000,-. Ditawar sedikit jadi Rp. 10.000,-. Jadilah borong mangga 5 kg, eee ketemu lagi manalagi Rp. 10.000,- borong lagi 3 kg. Di toko buah rata-rata harganya 25.000 – 35.000 (cuma bedanya dikasih stiker saja, stiker produsen mangganya ..... bukan stiker langganan parkir itu mah kegedean) .... wah, gua jadi pengen buka toko buah nih, cuannya gede :).
3. Jambu Air. Nah kalau jambu air ini ceritanya seru dan bagi saya ini success story dimana pebisnis buah lokal bisa berjaya menghadapi serangan pebisnis impor. Salah satu jambu favorit saya adalah jambu air Bangkok .... ngga tahu kenapa apapun yang buntutnya Bangkok itu besar-besar dan enak. Durian Bangkok, Pepaya Bangkok, Ayam Bangkok, Mangga Bangkok, Buah Naga Bangkok itu mantap-mantap semua, sudah besar, guahnya banyak, rasanya enak dan konsisten, bijinya kecil ..... (kalau calon istri Bangkok cakep saya sarankan anda berhati-hati jangan langsung diACC, nanti anda menyesal karena khusus untuk yang satu ini di Bangkok banyak barang Aspal ... musti konsultasi sama om Lokas yang lebih banyak pengalaman). Malah kalau durian Bangkok bisa dibilang merupakan penguasa di pasaran durian tanah air (CMIIW) indikasinya adalah kalau anda ke toko buah, cari durian akan lebih mudah menemukan durian Bangkok dibandingkan durian lokal. Nah, ada jambu air Bangkok yang ukurannya besar sekali (tidak sampai sebesar pepaya Bangkok sih .... ah Js-er jangan sampai menghayal terlalu jauh, nanti saya dibilang membual) tetapi yang jelas kalau kamu bandingin Jambu air bangkok dengan jambu air lokal ibaratnya kamu bandingin Saquile O’neil dengan Sule. Kira-kira begitu perbandingan ukurannya, jauh besarnya (baik bagian atas maupun bagian bawah). Walaupun harganya yang aujubileh mahalnya range antara Rp. 75.000,- s/d Rp. 90.000,- per kg tetapi rasa, kualitas dan mutunya sangat terjaga. Selama makan jambu ini saya tidak pernah sekalipun mendapatkan jambu air yang berulat. Kalau makan jambu air lokal kadang kalau kita meleng dapat bonus protein, alias ulat :p. Tetapi itu kisah 2 tahun yang lalu. Sampai kira-kira 6 bulan yang lalu saya diperkenalkan dengan Citra, saya langsung naksir abis si Citra ini dan meninggalkan si Bangkok. Siapa gerangan si Citra ? Citra adalah jambu air lokal (setahu saya yah .... ini katanya Kontan (bukan Bondan ... itu mah kepala suku kita), kalau saya dibohongin sama Kontan yah saya jadi bohongin JS-er :p). Jambu Citra merupakan contoh sukses dan saya bangga sebagai orang Indonesia memiliki petani (atau siapapun di belakang jambu Citra ini) yang jelas-jelas berhasil memukul K.O. si jambu Bangkok. Harganya Jambu Citra sekilo di toko buah Rp. 35.000,-. Kemarin saya beli di abang2 depan Pondok Laguna sekilo dia buka Rp. 35.000,-, berhubung saya datang dengan cici (dekingan) saya yang buka toko di Tanah Abang ... saya dapat harga terbaik, Rp. 25.000,- per kilo. Tadinya si Abang cuma mau turunkan Rp. 30.000,- per kilo, saya sudah mau beli, tapi tak serahken tampuk kepemimpinan ke cici untuk menghadapi si Abang, akhirnya karena kalah set (straight set :p) si Abang turunkan lagi Rp. 27.500,- per kg, kakak saya sudah ACC, saya serang lagi (jumping smash) si Abangnya kalau begitu Rp. 25.000,- per kg saya ambil 3 kilo yah ... akhirnya si abang takluk oleh kolaborasi jawara Mangga Dua dan Tanah Abang ... ha.ha.ha. (bully). Walaupun dari segi ukuran tetap lebih besar jambu Bangkok, kalau jambu Citra ini sudah agak besaran dikit bandingkan jambu lokal lainnya, yah masih lebih tinggi dikit dari Sule lah, katakan seperti si Sule pakai Hak 20 cm masih kalah gede bandingkan Saquille. TETAPI yang kita beli jambu kan bukan per biji tetapi per kilo. Jadi kalau jambu Bangkok per kilo 2 biji (misalnya), jambu Citra bisa 4 biji, jelas gua pilih jambu Citra dong. Sudah lebih murah, massa jambunya sama (kalau ngga tahu apa itu Massa coba tanya sama Einstein, dia yang bilang E=MC kuadrat, energi = massa X kecepatan cahaya), bukan massa yang suka ngumpul2 di depan gedung DPR dan memblokir jalan tol. Malahan dari segi rasa, saya lebih senang dengan jambu Citra karena lebih padat, jadi jambu Bangkok agak getas dibandingkan jambu Citra. Selain itu rasa jambu Citra juga bervariasi (bukan variasi mobil ... itu mah keras ... jangan digigit) jadi ada yang maniiiiiis banget, ada yang agak manis tetapi rata-rata tidak kalah dengna jambu Bangkok. Satu tips memilih jambu, pilih yang warnanya tua (ini beda sama pilih istri yah). Makin tua warnanya rasanya akan makin manis, selain itu pilih juga yang warnanya mengandung unsur hijau (ini bukan mata duitan .... ini jambu booo ... bukan pacar :p), warna hijau memberikan variasi warna manis yang berbeda ..... mungkin ada unsur jambu cincalo disini (sok tahu mode on). Jadi cerita akhirnya adalah jambu Citra ini merupakan kloning dari jambu Bangkok yang sukses. Meskipun lebih kecil tetapi dari sisi konsistensi kualitas, rasa, kontinuitas sampai saat ini terjaga. Malah harganya yang jauh lebih murah. Bravo untuk jambo Citra. Skor 1 : 1 setelah kalah dari durian bangkok.
4. Lain-lain. Selain jambu Citra, kemarin saya baru ke toko buah To*** (bukan Toto yah .... itu merek kloset) di Santa saya dikasih coba anggur lokal yang namanya Anggur Cherry, menurut informasi penjaga toko anggur ini asalnya dari Banyuwangi. Rasanyaa ... hmmm, saya takjub kalau ada anggur lokal dengan rasa seperti ini, saya pilih anggur ini dibandingkan anggur Crimson (yang belakangan kok mulai menurun kualitasnya dan jadi asem). Dari segi bentuk anggur ini kalah sama anggur impor, ukurannya lebih kecil. Yah balik lagi segede Ai Yu ting ting dibandingkan Angelina Jolie. TETAPIIIII dari sisi rasa ...... saya takjub. Jadi saya tinggalkan Crimson untuk anggur Cherry ini. Selain itu meskipun saya tidak terlalu suka Melon, tetapi karena kemarin ada Melon Lokal dengan nama Melon Golden SBY (ini bukan nama penyanyi tetapi singkatan dari kata Surabaya) yang rasanya mantap :).

Hidup Buah Lokal.

Bener kata Steve Jobs : Stay Hunger, Stay Foolish kalau laper ngga makan memang bodo sih :p.

Salam,
Alfons

No comments: